sideCategory1

Nov 30, 2012

Banjir (Lembah Kerinci) vs Karung & Mie Instan!

UHANGKAYO - Sepertinya Lembah Kerinci sedang panen karunia, selama hampir kurang lebih satu bulan di Lembah Kerinci, hujan deras berlangsung hampir tiap hari. Dan pada minggu pertama, beberapa kali banjir 'bertandang' ke rumah warga. Respon yang diberikan oleh pihak terkait cukup tanggap dengan menggali saluran air yang mengalami pendangkalan akibat erosi, agar air dapat mengalir dengan lancar ke sungai besar. Selain itu juga dengan membagikan karung dan mie instan. Karung digunakan untuk menghalangi air masuk ke rumah warga, setelah diisi dengan pasir dari erosi. Sedangkan mie instan, barangkali untuk aye kawo bagi warga setelah bekerja mengisi dan menata karung-karung tersebut.

Sedimen berupa pasir yang terbawa oleh air.

Bencana yang disebabkan oleh air di Lembah Kerinci bukan hanya banjir semata, namun juga masalah kekurangan (air bersih). Hal ini terjadi bukan hanya dimusim kemarau, bahkan di musim hujan seperti sekarang ini. Ketersediaan air bersih melebih kelangkaan BBM. PDAM sebagai pemasok air bersih hanya mampu mengalirkan air bersih secara bergantian, bahkan sejak minggu lalu, air bersih hanya mengalir sehari dengan diselingi dua hari berikutnya mati. Bagaimanapun juga, peristiwa banjir (yang pernah terjadi) dan kekurangan air bersih saat ini jika tidak ditanggulangi sejak dini, bukan tidak mungkin dapat menyebabkan bencana yang lebih besar kelak.

Lantas apa itu Banjir?

Banjir pada dasarnya adalah 'tertahannya' air di atas permukaan tanah. Tertahan bisa dikarenakan tanah yang jenuh, sehingga membentuk sebuah genangan air. Hal yang paling jelas dilihat adalah pada Danau, hanya saja bagi masyarakat danau adalah berkah, yang bisa menjadi sumber penghasilan bagi sebagian warga. Tertahan juga bisa dikarenakan debit air yang melewati saluran melebihi daya tampung saluran tersebut, sehingga menjadi air limpasan (run off). Air limpasan dengan volume yang cukup besar sehingga menggenangi jalan-jalan, pekarangan, hingga memasuki rumah-rumah, dikenal sebagai banjir.

Dahulu banjir seringkali dikaitkan dengan fungsi hutan, ketiadaan hutan dapat menyebabkan banjir. Namun dewasa ini banjir menunjukkan hubungan yang erat dengan tanah, ini berarti pada tegakan hutan, banjir pun dapat terjadi apabila volume air yang datang lebih besar daripada kemampuan tanah dalam meresapkannya. Pepohonan disini sangat membantu dalam menerima air hujan yang jatuh, mengurangi kecepatan aliran permukaan, sehingga mengurangi erosi, dan mempermudah dalam meresapkan air. Kemampuan meresapkan air ini juga ditunjang oleh sistem perakaran dan hewan tanah yang membentuk pori hutan. Akar pohon juga menghindari terjadi bahaya yang lebih besar berupa longsor.

Banjir di kawasan pemukiman tidak hanya memberikan kerugian ekonomi, namun juga dapat menjadi perusak lingkungan dalam skala yang lebih besar, serta berpotensi meningkatnya penyakit menular yang terbawa dari air. Pada akhirnya ini tentu membawa kerugian (secara eknomi) yang juga lebih besar, berupa pengeluaran ekstra untuk biaya kesehatan maupun perbaikan tanaman pertanian.

Perkerasan menghalangi infiltrasi air ke tanah.

Banjir pada kawasan pemukiman diyakini terjadi akibat alih fungsi lahan, dari ruang terbuka menjadi lahan perkerasan, baik untuk perumahan maupun berbagai infrastruktur lainnya. Semakin luas perkerasan semakin berkurang lahan untuk meresapkan air, semakin berkurang jumlah air tanah, dan berakibat pada semakin tinggi limpasan air. Limpasan air inilah yang memberikan kontribusi cukup besar pada setiap kejadian banjir di kawasan pemukiman. Limpasan air juga bisa terjadi pada lahan pertanian. Kamir R. Brata memberi contoh pada areal persawahan yang melumpurkan tanah. Pelumpuran akan merusak biopori yang dibuat oleh alam, sehingga air tidak dapat meresap ke dalam tanah, akibatnya air (bersama pupuk) akan langsung mengalir terbuang percuma.

Pelumpuran sebagai upaya untuk mempertahankan agar air tidak meresap.

Penanggulangan Bencana Banjir

Beberapa kasus banjir di daerah lain telah dicoba ditanggulangi dengan berbagai cara, seperti pembuatan kanal (sungai buatan) untuk mengalirkan air secara langsung ke laut. Dengan dana yang besar serta lahan yang harus dikorbankan untuk membangun kanal, usaha ini dipercaya cukup efektif untuk mengatasi banjir. Namun ini hanya dapat terjadi apabila debit air yang masuk/dialirkan ke kanal tidak melebihi debit air kanal itu sendiri.

Dalam upaya untuk mengatasi banjir dan kekurangan air tanah, ilmu lingkungan mengenal konsep zero surface runoff. Konsep ini mengusung bahwa air hujan yang turun dari langit harus dapat diinfiltrasi (sepenuhnya) kedalam tanah dan menjadi cadangan air tanah. Melalui infiltrasi maka aliran permukaan dapat ditiadakan sehingga menghindari potensi terjadinya banjir maupun erosi. Salah satu teknologi yang diterapkan pada daerah pemukiman adalah melalui pembuatan sumur resapan. Berbeda halnya dengan pembuatan sumur yang biasanya dilakukan untuk mendapatkan sumber air bersih, sumur resapan berfungsi kebalikan yaitu untuk menampung air hujan langsung maupun dari atap rumah. Melalui sumur resapan, air hujan tertahan di sumur resapan selama jam hujan, yang kemudian terinfiltrasi kedalam tanah.

Sumur resapan.

Usaha lain yang terbukti secara empiris dan ilmiah yang dapat mengatasi masalah banjir adalah dengan teknologi mulsa vertikal. Teknologi ini telah dilakukan oleh seorang dosen ilmu tanah - Kamir R. Brata - sejak tahun 1993, dan mulai mencuat ke permukaan sejak banjir yang hampir merendam 60% wilayah ibukota pada tahun 2007. Teknologi mulsa vertikal meresapkan air menggunakan bantuan makhluk hidup. Dengan alasan kepraktisan, kemudahan untuk diingat dan diucapkan, penamaan teknologi mulsa vertikal berubah menjadi Lubang Resapan Biopori (LRB).

Muasa Vertikal atau Lubang Resapan Biopori (LRB).

Lubang Biopori sendiri merupakan lubang silendris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter 10 cm dan kedalaman 100 cm. Selanjutnya lubang ini diisi dengan sampah organik untuk makanan organisme tanah. Biopori sendiri terdiri atas dua kata - bio dan pore, karena teknologi biopori memanfaatkan aktivitas fauna tanah atau akar tanaman (bio) yang akan membentuk lubang terowongan kecil (pore).

Dalam mengatasi banjir, secara sederhana teknologi LRB menambah luas bidang resapan air, yaitu seluas dinding lubang. Pada LRB berdiameter 10 cm dengan kedalaman 100 cm, luas bidang resapan bertambah sekitar 3.140 cm2. Dengan kata lain, luas permukaan tanah berdiameter 10 cm memiliki luas resapan sebesar 78,5 cm2, setelah dibuat LRB dengan kedalaman 100 cm, luas bidang resapan akan menjadi 3.220 cm2. Dalam hal ini, perbandingan luas resapan tanah dengan LRB mencapai 40 kali dari luas resapan tanpa LRB.

LRB pada selokan bersemen.

Selain lebih murah dan bisa dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja, apabila dibandingkan dengan pembuatan kanal dan sumur resapan, LRB juga memiliki keuntungan yang telah teruji secara ilmiah:
  1. Mencegah genangan dan banjir,
  2. Mencegah erosi dan longsor,
  3. Meningkatkan cadangan air bersih,
  4. Penyuburan tanah dan mengubah sampah organik menjadi kompos sehingga mengurangi emisi gas metan sebagai penyebab pemanasan global yang lebih kuat dari gas karbondiosida.

Kepraktisan pembuatan teknologi LRB serta manfaat yang besar, telah mengantarkan banyak daerah untuk membuat LRB sebagai upaya untuk mengatasi banjir di daerah mereka. Kota Jakarta, sebagai contoh, telah mulai gencar membuat LRB walaupun belum mencapai target hitung-hitungan sebanyak 75 juta Lubang Resapan Biopori, kemudian beberapa daerah lain seperti Bandung, Bogor, dan Bali juga tercatat mengikuti jejak ini.



Upaya Penanggulangan Banjir di Lembah Kerinci

Bencana alam yang disebabkan oleh kelebihan air (banjir) dan kekurangan air bersih yang (pernah) melanda Lembah Kerinci merupakan peristiwa yang sangat disayangkan, saat air hujan yang diturunkan tidak dapat disyukuri melalui pengelolaan dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Lebih ironis lagi, kawasan konservasi yang mengelilingi Lembah Kerinci tidak mampu berfungsi sebagaimana mestinya, yaitu sebagai pengatur tata air. Banjir maupun kelangkaan air memiliki pengaruh yang signifkan dengan landcover maupun landuse suatu kawasan. Kawasan alami yang ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan seperti ekosistem hutan diyakini berperan dalam menerima, menyimpan, dan menahan air hujan yang jatuh diatasnya kemudian mersapkannya kedalam tanah, yang disebut sebagai fungsi hidrologis hutan. Ketiadaan (ekosistem) hutan berarti menghilangkan fungsi hidrologis itu sendiri.

Fenomena bencana yang disebabkan oleh air ini tentu tidak terlepas dari peran serta manusia yang ada diatasnya sebagai pengelola, ketidakberdayaan dan kelemahan pemerintah maupun masyarakat dalam menyelaraskan pembangunan dan mengelola alam dengan bijak. Hendaknya bencana alam (peristiwa banjir, kekeringan hingga longsor) dapat dilihat sebagai suatu bentuk 'kecemburuan' alam yang tidak mendapatkan perhatian dalam pembangunan. Peristiwa banjir, kekeringan, hingga longsor harusnya dapat menjadi pelajaran untuk merencanakan dan mengelola suatu lingkungan binaan yang lebih baik. Arah pembangunan hendaknya tidak hanya berorientasi pada ekonomi semata, namun juga memperhatian aspek ekologi, dan sosial. Tiga fungsi ini harus dapat berjalan berdampingan. Secara ekonomi maju, secara ekologi sehat, secara sosial merupakan perwujudan/warisan dari nilai-nilai lokal.

Melalui konsep zero surface runoff, banjir dan kelangkaan air bersih dapat dihindari. Dalam skala pemerintah usaha penanggulangan dan/atau antisipasi bencana, dapat dilakukan melalui pendekatan kebijakan penataan ruang yang berwawasan lingkungan dan berbasis mitigasi bencana. Sedangkan pada skala masyarakat dapat dilakukan melalui cara yang sederhana, pembuatan Lubang Resapan Biopori (LRB) pada setiap sudut rumah. Tentu saja langkah yang terpenting memupuk kesadaran warga untuk peduli pada lingkungan. Alangkah baiknya jika pembuatan LRB ini terkoordinir dan/atau menjadi satu program dari daerah dari tingkat RT hingga Kabupaten/Kota. Pembuatan Lubang Resapan Biopori (LRB) tentu lebih baik daripada 'mengalirkan' air secara percuma ke sungai. Selain dapat mengurangi persediaan air tanah, jika seluruh air limpasan se-Lembah Kerinci dibuang percuma ke sungai, maka desa-desa disekitar sungai berpotensi mengalami kerugian yang paling besar apabila debit air yang masuk melebihi debit air sungai tersebut. Hal ini barangkali 'sebelas-duabelas' dengan kasus banjir di ibukota.

Lembah Kerinci adalah milik semua elemen masyarakat, sambil menunggu suatu program dapat terwujud dari pemerintah (yang juga merupakan wakil dari masing-masing elemen masyarakat), ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan kepedulian kita kepada Lembah Kerinci.

"Air Sumber Kehidupan", kalimat ini sering kita dengar. Melalui Al-Quran Digital, aku menemukan tidak kurang dari 15 ayat yang menyandingkan kata (atau yang memiliki makna) "hidup/kehidupan" setelah kata "air (hujan)". Yang tersisa sekarang adalah bagaimana cara kita mensyukuri nikmatNYA.
An Nahl 65
Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran).

0 comments:

Post a Comment