TRIBUNNEWS.COM - Cerita ini bermula dari artikel blogger Kompasiana, Aryadi Noersaid, yang dipostingkan 25 Juni 2011. Judulnya "Sultan HB IX & Polisi Pekalongan, The Untold Story". Versi Aryadi, ceritanya bertutur keberanian Brigadir Royadin, seorang polisi di Pekalongan menilang Sri Sultan HB IX.
Rebuwes (SIM) disorongkan ke tangan Ngarso Dalem (sapaan hormat untuk raja-raja Yogya) yang tengah nyetir sendirian dan melanggar di jalan satu arah pada tahun 60an itu. Bukannya marah, Sri Sultan HB IX menerima rebuwes itu, dan melanjutkan perjalanan.
Hari berikutnya giliran Royadin didamprat komandannya. Tapi polisi teguh itu bersikukuh hanya menjalankan peraturan. Tak lama berselang, Sri Sultan HB IX berkirim surat, minta Royadin dipindahkan ke Yogya supaya dekat dengannya.
Royadin menolak, dan memilih tetap dekat bersama keluarganya di Batang. Cerita versi Aryadi itu segera mengundang simpati dan beragam komentar. Terlebih artikel itu kemudian menyebar luas melalui milis, tautan media sosial, dan muncul di berbagai laman.
Benarkah Royadin dan kisah itu ada? Tribun Jogja menelusuri jejak Royadin di Batang. Hasilnya, sosok itu memang benar-benar pernah ada. Kisah serupa juga ditemukan, tapi kali ini versi dua anak kandung almarhum Royadin.
Keluarga almarhum Royadin tinggal di Gang Sriti RT 06/RW 06 No 53, Legoksari, Proyonanggan Tengah, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang. Rumah sederhana itu berada tak jauh dari ruas jalan utama Kabupaten Batang, Jalan Gajahmada.
Semua warga Legoksari ternyata mengenal nama Royadin, mantan polisi yang meninggal pada 14 Februari 2007 lalu dengan pangkat terakhir Pembantu Letnan Satu (Peltu). Rumah itu berada di tengah kampung yang hanya bisa dijangkau jalan kaki atau sepeda motor itu.
Tribun bertemu anak ketiga Royadin bernama Supardiyo (57), dan anak kelima almarhum Murni Janasih (51). Total anak almarhum ada enam; Raminten, Budiati, Supardiyo, Bambang Sugeng, Murni Janasih, dan Sri Siti Handayani.
"Iya cerita Mas Didik (panggilan Aryadi) memang benar. Saya juga pernah diceritain, tapi saat itu bapak tugasnya di Semarang, bukan di Pekalongan. Sekitar tahun 1960an, pas ramai-ramainya PKI, " kata Diyo, panggilan Supardiyo, saat berbincang di ruang tamu rumah ayahnya, Selasa (10/4) siang.
Ayah lima anak itu mengenang cerita ayahnya sembari tersenyum kecil. Diyo mendengar kisah itu suatu saat ketika ayahnya pulang ke Batang. Ibu dan saudara-saudaranya tinggal di Legoksari, sedangkan ayahnya di asrama polisi di Jalan Admodirono, Semarang. Setiap akhir pekan ayahnya menengok keluarga di Batang.
Bersama saudara-saudaranya, Diyo mendengar ayahnya yang humoris bercerita baru menangkap penggede (orang besar) yaitu Sri Sultan HB IX di Semarang. Kisahnya dimulai saat di Semarang ada upacara dengan banyak pejabat negara yang datang ke Semarang.
Pertengahan 1960-an itu, Royadin bertugas di pos lantas yang seingatnya kalau tidak di pertigaan depan Stasiun Poncol Semarang, di Simpang Lima, ataupun daerah Jalan MT Haryono. Tiba-tiba Royadin melihat ada mobil melanggar jalan searah.
Ia langsung mencegat. Ternyata pengemudinya orang yang sama sekali tidak asing. Royadin tersentak, tapi ia tetap memilih menilang orang besar itu. Sultan HB IX menurut Royadin tidak marah dan memberikan surat-surat kelengkapan yang diminta sesuai peraturan.
Di mata Diyo dan saudara-saudaranya, Royadin ayah yang sederhana. Hidupnya lurus tidak pernah berbuat macam-macam. Bahkan, saat masih susah dan hanya bisa makan nasi jagung pun ayahnya tetap bertanggungjawab.
Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, ia rela menggadaikan apapun. Bahkan saat itu untuk memenuhi kebutuhan rumah, ayahnya sempat menggadaikan sarung dan tidak jarang pakaian dinasnya di pegadaian.
Kenangan akan ayahnya pun membekas di hati Murni Janasih (51). Baginya ayahnya sosok yang bersahaja. Tidak terlalu keras ataupun lembut. Ia tidak pernah melihat ayahnya berkeluh kesah dan bertindak macam-macam.
Data yang dihimpun Tribun, Royadin lahir di Batang, 1 Desember 1926. Ia bertugas sebagai polisi selama 21 tahun 1 bulan. Pernah bertugas di Boyolali, lalu pindah ke Semarang dan pulang kembali ke Batang sebagai Kapolsek Warungasem, Batang hingga pensiun.
Pada 14 Februari 2007, dalam usia ke 81 tahun Royadin berpulang di rumah yang dibangunnya dengan hasil keringatnya sendiri. Ia dimakamkan di pemakaman umum dekat rumahnya di Kepuh, Priyonanggan Tengah, Batang.
Tidak ada yang istimewa dengan makamnya. Hanya ada tulisan Royadin bin Slamet yang berdampingan makam istrinya yang meninggal dua tahun setelahnya. Anak-anaknya kini tersebar di Batang, Semarang, dan Purworejo. (www.tribunjogja.com)
Sumber: tribunnews.com