Kerinci Regency in 3D

Peta wilayah Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh dalam Tiga Dimensi, oleh Milantara - uhangkayo.webs.com.

Koto Petai - Danau Kerinci

Perahu-perahu Nelayan Koto Petai - uhangkayo.webs.com.

Gunung Kerinci

Gunung Kerinci yang Menjulang diantara Awan Putih dan Langit Biru (foto: Jeremy Holden, FFI) - uhangkayo.webs.com.

Rumah Larik

Rumah Larik, Rumah Tradisional Masyarakat Lembah Kerinci - uhangkayo.webs.com.

Sungai Penuh

Senja di Batas Kota Sungai Penuh - uhangkayo.webs.com.

sideCategory1

Jun 7, 2013

Pariwisata Lembah Kerinci: Analisis (Bagian 6 - Akhir)

Penulis: Milantara  
 
UHANGKAYO.webs.com - Bagian ini hanya mencoba menjabarkan sekilas, sebatas key note yang sebenarnya juga sudah pernah disampaikan pada beberapa grup diskusi Kerinci. Ini merupakan bagian terakhir dari Pariwisata Lembah Kerinci (Pengantar, Referensi 1, Referensi 2, Usaha Pembangunan, Potensi Demand, Potensi Pasar, Analisis).

1. SDM - Modal Utama Mengantarkan Sektor Pariwisata Lembah Kerinci sebagai Leading Sector Pembangunan Lembah Kerinci

Wisata memiliki banyak 'wajah', kita mengenal adanya wisata massal, wisata alam, wisata minat khusus, agrowisata, ekowisata dan lain sebagainya. Jika diperhatikan, umumnya istilah wisata yang dikenal oleh masyarakat selama ini lebih identik dengan konsep wisata massal. Hal ini terlihat dari cara mendefinisikan pariwisata/wisata, seperti ketersediaan akses jalan yang mulus, akomodasi yang baik, hingga kegiatan yang dilakukan saat berada di objek wisata yaitu dengan menggelar tikar, berkumpul, dan menikmati panorama alam.


Cara melihat pariwisata tentu mempengaruhi dalam merencanakan dan mengelola pariwisata itu sendiri, serta usaha-usaha pembangunan yang dilakukan. Tidak semua perencanaan dan pembangunan pariwisata harus mencontoh atau mendapat perlakuan yang sama seperti daerah tujuan wisata yang telah maju. Terlebih ditengah keterbatasan, dibutuhkan sebuah konsep (perencanaan) yang tepat dengan memperhatikan parameter terkait. Disinilah pentingnya Sumber Daya Manusia (SDM), untuk dapat memilah dan menilai parameter-parameter penting.

SDM (pengelola) yang profesional juga dituntut untuk dapat mempertahankan kualitas pada kepuasan yang diterima oleh wisatawan. Sehingga Lembah Kerinci yang memiliki jargon "Sekepal Tanah Surga yang Tercampak ke Bumi" bukan hanya menjadi terkenal dan ramai di kunjungi wisatawan, namun juga diharapkan Pariwisata Lembah Kerinci dapat menjadi leading sector bagi pertumbuhan sektor-sektor lain.

Sebagaimana diketahui sektor pariwisata bersifat multiplier effect, hal ini karena pariwisata (yang sukses) dapat merangsang tumbuh dan berkembangnya sektor-sektor lain. Ilustrasi sederhana adalah, untuk memenuhi kebutuhan pokok wisatawan seperti makan, akan menumbuhkan sektor pertanian hingga peternakan/perikanan. Hal ini tentu berbeda dengan sektor-sektor lain yang hanya fokus pada sektornya masing-masing.

2. Arah Pembangunan Pariwisata Lembah Kerinci

Pada beberapa grup diskusi, sempat terlontar pertanyaan: "mau dibawa kemana pariwisata Lembah Kerinci (Kabuptan dan Kota)?". Berharap pertanyaan ini dapat menjadi dasar untuk memulai diskusi tentang usaha pembangunan pariwisata, agar dapat menemukan sebuah solusi serta menghindari debat kusir. Pada kesempatan tersebut juga sempat disampaikan bahwa: "arah pembangunan pariwisata Lembah Kerinci kurang tepat", yang sebenarnya inilah dasar yang memunculkan pertanyaan diatas. Tentu hal ini dapat dilihat dari usaha pembangunan pariwisata yang telah dilaksanakan selama ini. Jika kita melihat dengan jeli, maka arah pembangunan pariwisata tidak fokus. Belum lagi apabila membandingkan usaha yang telah dilakukan dengan potensi supply dan demand wisata Lembah Kerinci, akan terlihat ketidaksesuaian.



Pada dasarnya, konsep apapun yang diusung tidak salah jika mengejar keuntungan semata. Entah itu pengembangan pariwisata yang berfokus pada keinginan demand semata, atau sesuai dengan ego perencana, atau memang mengembangkan sesuatu yang orisinil. Apalagi ditunjang dengan ketersediaan sumberdaya yang tidak terbatas, apapun konsep pembangunan pariwisata dapat dipastikan akan berjalan dengan baik. Sebut saja meratakan bukit kemudian merubahnya menjadi savana yang luas seperti halnya di afrika, maupun menghadirkan suasana pantai lengkap dengan gelombang lautnya. Tentu ini bukanlah hal yang sulit untuk diwujudkan dengan sumberdaya (kapital) yang tak terbatas.

Berbeda halnya dengan Lembah Kerinci yang serba dalam keterbatasan. Kondisi ini menuntut satu konsep yang tepat bagi pengembangan sektor pariwisata. SWOT (WOTS-UP) merupakan analisis yang cukup populer dan sering dijadikan dasar dalam dalam pengambilan keputusan, analisis SWOT membantu kita untuk melihat dan memahami dengan lebih detil pada masing-masing parameter. Dalam suatu perencanaan analisis SWOT akan difokuskan pada kekuatan (Strength) dengan memanfaatkan peluang (Opportunity), serta menghindari ancaman (Threat) dan mengatasi Kelemahan (Weakness). Namun, berpegang pada SWOT semata akan menghadirkan subjektifitas yang tinggi, untuk itu dibutuhkan analisis lain yang mendampingi analisis SWOT.

3. Usaha - Supply - Demand

Letak Lembah Kerinci yang merupakan enclave dari Taman Nasional dengan kondisi geografis yang berbukit-bukit memberikan dampak positif berupa keanekaragaman hayati yang cukup tinggi (flora-fauna), fenomena alam, hingga kekayaan budaya dan prasejarah yang berbeda dari jamannya. Tidak dapat dipungkiri potensi (kekuatan/Strength) wisata yang dimiliki oleh Lembah Kerinci berbasis pada alam. Dan dewasa ini, potensi pasar wisata berbasis alam juga mengalami pertumbuhan. Ini merupakan suatu peluang (Opportunity) bagi Lembah Kerinci mengedepankan potensi yang dimilikinya ini.

Dari beberapa upaya atau program yang telah dicanangkan dan dilaksanakan oleh pengelola, terlihat adanya ketidak-sesuaian antara supply dan demand. Beberapa usaha (terpantau) yang dilakukan selama ini (sebut saja) hanya mencoba mengatasi kelemahan (Weakness), namun tidak berfokus menonjolkan kekuatan (Strength) dan/atau memanfatkan peluang (Opportunity). Potensi yang dimiliki oleh Lembah Kerinci cukup tinggi, khas, dan unik, potensi yang hanya dimiliki segelintir tempat di muka Bumi. Namun, potensi ini tidak begitu dilirik oleh pengelola dan tidak terkelola dengan baik.

Walaupun potensi supply yang ada ini terkesan terabaikan, namun telah terjalin hubungan yang cukup baik (dan secara alami) antara supply wisata Lembah Kerinci dengan demand diluar sana. Hal ini dapat kita lihat pada desa kaki Gunung Kerinci yang telah berdiri sejumlah homestay. Homestay ini merupakan tempat singgah bagi para wisman yang umumnya datang untuk melihat, menikmati, dan mengagumi keunikan flora (burung) hingga alam Lembah Kerinci.

Sedangkan dari sisi demand, ada cukup banyak demand dalam hal ini adalah wisatawan yang (ingin) mengunjungi Lembah Kerinci, baik itu actual demand maupun suppressed/potential demand. Actual demand merupakan wisatawan yang benar-benar mengunjungi Lembah Kerinci. Bahkan, sejumlah wisatawan memiliki keinginan untuk kembali mengunjungi Lembah Kerinci.

Selisih waktu tempuh menuju Kawasan Wisata Puncak dari Jakarta pada saat libur mencapai lebih 3 Jam.

Pariwisata: salah satu syarat bertemunya motif wisatawan dengan atraksi wisata (lokasi: Kebun Raya Cibodas).

Dengan mengetahui aspek-aspek ini (demand, supply, kapital, dll), tentunya pertanyaan "mau dibawa kemana pariwisata Lembah Kerinci?" akan lebih mudah untuk dijawab. Sehingga walaupun masih dalam tahap membangun, sektor pariwisata Lembah Kerinci dapat memberikan kontribusi positif bagi daerah dan/atau masyarakat lokal.

4. Investor vs Masyarakat Lokal, antara Kemajuan dan Pemerataan

Keberadaan investor yang mengucurkan dana untuk pembangunan berbagai sarana wisata dapat mempercepat kemajuan pariwisata. Namun, bagaimanapun orientasi investor adalah bisnis, sehingga akan menciptakan dampak negatif yang cukup berarti bagi daerah terutama masyarakatnya. Kemajuan barangkali hanya akan terlihat dari luar yang dinikmati oleh para investor (serta para wisatawan), namun tidak demikian halnya dengan masyarakat lokal.

Salah satu  peran investor (ilustrasi).

Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pariwisata Bali yang maju merupakan campur tangan dari para investor yang menanamkan modalnya dalam berbagai bentuk; seperti hotel, restoran, cafe, dan lain sebagainya. Hal yang sama dapat dilihat dari kondisi Kawasan Puncak (Bogor-Cianjur) yang juga dipenuhi dengan berbagai akomodasi dari kelas standar hingga mewah.

Namun, tidak dapat disangkal juga bahwa kehadiran investor dari luar ini, menciptakan kesenjangan ekonomi yang makin jauh. Salah seorang tokoh masyarakat Bali dalam acara "Karikatur Negeriku" (19 Mei 2013) yang tayang di salah satu stasiun televisi nasional, menyampaikan bahwa: "Tidak terjadi pemerataan kesejahteraan ekonomi. Penguasaan asing lebih besar terlebih pada lahan-lahan strategis, pada akhirnya masyarakat lokal terpinggirkan. Bali dinikmati keindahannya oleh masyarakat dunia, namun tidak demikian yang dirasakan oleh masyarakat lokal."

Menurut Kadin Kab. Bandung, 80 persen jumlah investasi di sektor pariwisata di Bali berasal dari para pemilik modal dari luar negeri, apalagi investasi yang masuk tersebut tidak terlalu dirasakan secara nyata oleh masyarakat Pulau Dewata, khususnya kalangan masyarakat kurang mampu. Manfaat itu hanya dirasakan oleh pemilik modal asing sehingga keuntungan yang didapat pun dibawa ke luar Bali.

Kawasan Puncak yang menjadi kawasan tujuan wisata daerah Jawa Barat (bahkan dari beberapa Negara Timur Tengah) mengalami hal yang sama, lahan-lahan strategis dikuasai oleh investor yang notabene bukan masyarakat lokal. Wisatawan yang datang dari luar daerah berdatangan mengunjungi daerah mereka, menikmati keindahan alam, udara yang sejuk. Namun, para wisatawan menginap di hotel-hotel dan/atau makan di restoran yang bukan dimiliki oleh masyarakat lokal.

Dalam contoh ini, baik Bali maupun Kawasan Puncak, masyarakat lokal mendominasi sebagai buruh kasar. Perputaran uang dikuasai oleh para investor (asing), yang pada akhirnya di bawa keluar. Pada beberapa stasiun televisi nasional seringkali menampilkan kondisi sejumlah keluarga yang hidup dibawah garis kemiskinan, sementara daerah mereka menjadi tujuan wisata yang maju. Sangat ironis.

Melihat kenyataan ini, diperlukan sebuah perencanaan yang matang bagi sektor pariwisata Lembah Kerinci agar tidak terjebak pada hal yang sama. Kemilau wisata hendaknya tidak hanya terlihat dari luar saja, namun juga dapat dinikmati dari dalam oleh semua lapisan masyarakar lokal. Pengembangan yang melibatkan masyarakat lokal, menempatkan masyarakat lokal sebagai subjek bukan objek dalam pariwisata. Dengan cara inilah keindahan alam tidak hanya dinikmati oleh wisatawan namun juga masyarakat lokal dapat merasakan hasil dari keindahan daerah mereka.

NB:
Salah seorang calon Bupati Kerinci 2014 juga sempat menyorot tentang pariwisata yang berbasis masyarakat pada blog pribadinya (?). Untuk membaca lebih detil tulisan beliau, silakan klik disini.

5. Transferabilitas
 
Transferabilitas menurut Soekadijo (2000) adalah kemudahan dalam berpindah tempat atau berpergian dari tempat tinggal wisatawan ke tempat atraksi wisata. Transferabilitas dalam hal ini, mencakup prasarana jalan, ketersediaan angkutan, hingga dokumen perjalanan.

Mengulas tentang prasarana jalan, Soekadijo (2000) menjelaskan dalam sub-bab Addendum:
"Prasarana diperlukan untuk pengembangan pariwisata, akan tetapi bukan pariwisata."

Dalam paragraf berikutnya, Soekadijo juga menjelaskan bahwa:
"Mengingat hubungan antara sarana dan prasarana, jelaslah bahwa pembangunan prasarana pada umumnya harus mendahului sarana. Adakalanya prasarana dibangun bersama-sama dalam pembangunan sarana wisata, seperti jalan prasarana untuk kawasan Nusa Dua. Sebaliknya pembangunan sarana pariwisata dapat mengakibatkan peningkatan kondisi prasarana. Bali dapat berkembang sebagai daerah tujuan wisata karena aksesibilitasnnya baik, antara lain disebabkan oleh adanya prasarana pelabuhan dan bandara. Ketika pembangunan pariwisata di Bali berhasil, bandara Ngurah Rai perlu ditingkatkan kondisinya. Ada hubungan timbal balik antara sarana dan prasarana. Prasarana merupakan prasyarat untuk sarana, sebaliknya sarana dapat menyebabkan perbaikan sarana."

Ada sebuah pertanyaan yang menggelitk: "Apakah kondisi prasarana jalan menuju Lembah Kerinci menjadi penghambat bagi wisatawan untuk berkunjung?" Untuk menjawab pertanyaan ini tentu kita harus melihat kembali konsep pengembangan wisata Lembah kerinci (jika telah ditetapkan), lebih tepatnya pada target pasar. Jika target pasar adalah wisatawan massal, tentu kondisi jalan Lembah Kerinci menjadi penghambat. Namun tidak sebaliknya apabila segmen pasar yang dibidik adalah para wisatawan minat khusus dan/atau para ekowisatawan.

Ketersediaan sarana (pariwisata) juga tidak terlepas dari kehadiran wisatawan. Salah satu contoh yang dekat adalah ketersediaan akomodasi di Kersik Tuo. Jika dahulu, hanya dikenal satu atau dua homestay, dewasa ini cukup banyak homestay yang ditemui di desa ini. Keberadaan homestay ini menjadi indikator adanya peningkatan kunjungan wisatawan.

Iseng-iseng saya pernah menanyakan tentang kondisi jalan Lembah Kerinci pada salah seorang wisman saat menemani ia mengelilingi Lembah Kerinci, jawabannya adalah: "Walaupun saya tahu kondisi Lembah Kerinci seperti ini, tidak akan menyurutkan niat saya untuk mengunjungi Lembah Kerinci. Lembah Kerinci sendiri memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata alam, dan seiring waktu kondisi jalan pasti akan lebih baik. Namun, saya tidak mengerti kenapa objek wisata ini harus dibangun ini itu... (sensor), dan jika saya pengelola saya akan membangun bla bla ... (sensor)".

Hal senada juga barangkali bisa ditemui di berbagai media online, bahkan ada cukup banyak wisatawan nusantara yang juga tidak mempermasalahkan kondisi jalan yang ada saat ini. Walaupun, harapan yang akan datang adanya suatu perbaikan jalan. Kembali seperti yang disampaikan oleh Soekadijo bahwa prasarana jalan bukan lah pariwisata, prasarana jalan dimanfaatkan oleh banyak sektor.

Pembangunan wisata dari dalam barangkali menjadi salah satu alternatif untuk mengembangkan Pariwisata Lembah Kerinci, dengan demikian tingkat kujungan wisatawan yang mengunjungi Lembah Kerinci meningkat, yang akan memicu perbaikan jalan menuju Lembah Kerinci.

6. Promosi

Setelah penentuan konsep, maka setiap kegiatan, setiap usaha yang dilakukan mulai dari A sampai Z haruslah mengikuti konsep yang telah ditetapkan, termasuk juga dengan promosi.

Promosi menjadi salah satu ujung tombak dalam pengembangan pariwisata, promosi pariwisata yang baik adalah promosi yang mampu membuat calon wisatawan berminat untuk mengunjungi objek/daerah yang dipromosikan. Secara umum, promosi terbagi atas dua kelompok besar: yaitu promosi aktif, dan promosi pasif. Dalam hal ini, promosi aktif dan pasif memiliki dampak dan cara/media yang berbeda.

Promosi Pariwisata Kabupaten Kerinci pada Gebyar Wisata dan Budaya Nasional 2013 di JCC, Jakarta.

Promosi Pariwisata Kota Sungai Penuh pada Gebyar Wisata dan Budaya Nasional 2013 di JCC, Jakarta.

***

Tulisan ini hanya sebuah pemikiran sederhana tentang sektor pariwisata Lembah Kerinci, hanya sebatas keynote. Masih banyak hal-hal yang perlu diperhatikan dan tidak dibahas dalam tulisan ini, seperti: perencanaan kawasan wisata (objek penarik & objek penahan), interpretasi, perencanaan transportasi, perencanaan akomodasi, pengkondisian pasar/demand, pengelolaan (pemda/pemkot - balai), hingga pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat.