Aku terpengkur diatas tanah merah yang masih basah itu, basah karena hari baru hujan, ditambah oleh air mata yang aku cucurkan di atas perkuburan yang terletak di tepi hutan, jauh dari kota itu. Perkataannya yang terakhir masih mendengung di telingaku, ucapan orang yang baru kukenal ini, tetapi sungguhpun demikian seseorang yang telah jadi perintis jalan bagiku.
Demikianlah asal mulanya aku mulai bergiat mencoba menggambar, membayangkan penghidupan diatas layar penghidupan dengan tak mengacuhkan caci pujian, tetapi terus berusaha tak putus-putusnya, hanya dengan seorang guru yang tinggi perasaan keseniannya, yang tak kenal lelah akan muridnya. Terkadang, kalau terlambat pensilku di atas kain, tak berdaya, tak berjiwa lagi. Akan terus, aku kenang kembali gambar “Guru Dan Murid” itu dan berkata aku kepada diriku, “Tidak aku tak hendakkan bayangkan hidup, tiruan hidup, tetapi aku berkendak hidup semata-mata.”
Ah, berapapun uang akan kubayar, untuk belajar kenal dengan perintis jalanku itu, jikalau ada padaku, tetapi…didalam hatiku aku takut akan menemuinya. Betapa dambanya aku kadang-kadang akan membawa “ciptaan-ciptaan” ku kepadanya, mempersembahkan kerja yang jauh dari sempurna itu, mengatakan “Ini hasil cucur peluhku, cacilah aku, katakanlah aku tak ada kepandaian, buanglah pekerjaanku kedalam bandar sampah,” tetapi hatiku takut, takut akan perkataan-perkataan itu, jika sekiranya nanti betul dilemparkannya ke mukaku.
Tak dapat tiada aku akan patah, … , tak dapat akan bangkit lagi, sebab terasa olehku, aku bergantung kepada guruku seperti seseorang bergantung di akar yang tidak kelihatan pangkalnya, sedangkan dibawahnya lembah yang dalam.
Oleh karena itu, aku jauhkan diriku padanya, dan dengan tumpuan batin gambar yang telah terguris, tak dapat dihapus dari kalbuku itu, aku akan capai tingkat yang tinggi dalam dunia kesenian. Dan ketika aku mesti bercerai dangan “Guru”ku, karena diundang orang ke luar negri, coraknya masih gilang-cemerlang, biarpun tak gemerlapan seperti dahulu lagi.
Ketika aku kembali pulang, tiga tahun kemudian, tak ada kedengaran namanya lagi. Aku tanyakan ke sana-sini, seorang pun tak tahu. Hingga pada suatu hari, ketika aku duduk di serambi muka rumahku, lalu seorang berjual gambar. Ia berhenti di muka rumahku, melepaskan lelah, menghapus peluhnya, dan karena aku senantiasa memperhatikan buah seni yang tersembunyi, aku hampiri orang itu. Seorang pembeli sedang menawar sebuah gambar yang aku kenal, yang telah jadi teladan bagiku, yaitu gambar “Guru Dan Murid.”
Kalau sekiranya aku tak kenal betul akan ciptaan “guru”ku, niscaya aku akan terperdaya oleh tiruan itu. Sipembeli tadi menawar satu rupiah, sedangkan si penjual meminta serupiah setengah.
Mendengar harga yang disebut-sebut itu, mendidih darahku, bukan buatan marahku.
“Tunggu dulu,“ aku berseru, ”Tahukah Tuan-tuan, bahwa gambar ini sepuluh tahun yang lampau harganya seribu rupiah, dan sekarang Tuan-tuan berani menjual atau membeli serupiah setengah?”
“Tetapi gambar ini kemarin baru siap.” Jawab tukang jual itu.
Ketika itu jelas padaku, bahwa catnya masih baru, hilanglah marahku, hanya sekarang berganti dengan perasaan benci yang tidak terhingga, benci terhadap orang yang meniru ini yang menjual jiwa dan sukma seorang ahli seni yang besar. Dan ketika kulihat gambar-gambar lain itu pun pernah kulihat dahulu, dan sesudah kuperhatikan seketika, nyatalah padaku, bahwa ini barang tiruan semata-mata.
“Bang!” kataku kepada orang penjual itu, “Kalau Abang bawa aku ke tempat orang yang membuat ini, aku beri Abang nanti persen lima rupiah.” Segera orang itu mau dan kami pun berangkatlah menuju sebuah kampung tak jauh dari kota. Tak lain maksudku, hanyalah hendak mengata-ngatai si peniru si peniru yang tak berperasaan itu.
Di tengah jalan aku perhatikan terus gambar itu dan makin lama kulihat, makin terharu pikiranku , karena barang tiruan itu tak dapat disangkal, diperbuat oleh tangan yang cakap dan tumbuhlah syakwasangka dalam hatiku yang membuat hatiku berdebar.
Setiba kami di sebuah kampung yang belum penah aku jejak, dibawa aku oleh sipenjual tadi di sebuah pondok bambu, rendah dan teratur tampaknya.
“Silakan Tuan,” katanya dan berseru dari luar ke dalam “Tuan, ini ada tamu!”
Dari dalam rumah itu kedengar suara yang lemah, tak tegak lagi. “Suruhlah masuk Din!”
Aku masuk dan sejurus kemudian aku tertegun, hatiku berdebar, tak salah lagi, yang duduk di atas balai-balai ini ialah guruku, telah agak tua tampaknya, kupiahnya berkerumuk di atas kepalanya dan dari sana-sini tersembur dari dalam tutupnya kepalanya itu rambut putih. Tak tahan hatiku lagi, aku meniarap di bawah lututnya, tak sadarkan diri. Ketika aku angkat kepalaku, heran aku melihat wajahnya yang tenang itu, sedikit pun tak terlihat keheranan di mukanya yang pucat itu.
“Kaulah yang aku nanti, Nak.” Katanya, “Harapan inilah yang memberi aku tenaga untuk hidup terus.”
“Aku yakin,” sambungnya lagi, “Gambarku yang satu ini akan memutuskan penderitaanku. Lihatlah kita sekarang, tak ubahnya seperti gambarku dahulu. Aku kenal akan kau, Anakku. Aku turuti engkau semenjak cahayamu mulai terang bersinar dan aku mengerti, engkaulah yang akan menggantikan kedudukanku dalam kesenian Indonesia yang sepi ini. Sekarang aku bersukur kepada Yang Maha Esa.”
Oleh : Usmar Ismail
Dikutip dari : Gema Tanah Air Indonesia Balai Pustaka, Jakarta 1982
0 comments:
Post a Comment