Seorang guru besar matematika di Fakultas Pertanian Bogor pada pertengahan tahun-tahun lima puluhan tersesat di Bandung dengan dua orang guru besar lain. Ketiganya bangsa Belanda dan tidak dapat berbahasa Indonesia, apalagi berbahasa Sunda. Untuk menanyakan arah yang benar kepada orang di tepi jalan dengan demikian bukanlah peker¬jaan yang mudah. Karena itu setelah terdiam sebentar sang guru besar matematika itu bertanya kepada kedua orang rekannya, apakah mereka tahu bagaimana bentuk denah kota Bandung. Kalau bentuknya memanjang, ada gunanya untuk mencoba-coba sendiri menemukan jalan yang benar, sebab kalau setelah menempuh satu arah tempat yang dituju tidak ditemukan juga, pasti arah yang benar adalah arah kebalikannya. Lain halnya kalau bentuk Bandung bundar seperti lingkaran. Kalau diketahui kemudian bahwa arah yang ditempuh salah, masih banyak lagi arah-arah yang lain yang harus dicoba. Dalam hal seperti ini katanya lebih baik berusaha bertanya kepada orang di tepi jalan, walaupun harus dengan menggunakan bahasa Tarzan, Sang Raja Semua Kera. Cerita itu pada tahun-tahun lima puluhan menimbulkan gelak dan tawa baik di kalangan guru besar lainnya, apalagi di kalangan mahasiswa, akan tetapi sebenarnya sang guru besar matematika telah berusaha berpegang pada prinsip pengambilan keputusan secara kuantitatif dengan menggunakan apa yang disebut sebagai fungsi kerugian. Kalau peluang menempuh arah yang salah sama dengan setengah, seperti pada kasus kota yang bentuknya memanjang, lebih baik mengambil risiko berbuat salah dengan menempuh arah yang salah daripada berusaha menerangkan dengan bahasa Tarzan apa yang ingin diketahui dari orang di tepi jalan tentang arah tujuan yang benar. Kebalikannya, kalau kota Bandung berbentuk melingkar, peluang menemukan arah yang benar dengan cara coba-coba sangat kecil sehingga kerugian karena kemubaziran membuang waktu menjadi besar. Pada keadaan seperti itu lebih menguntungkan mencoba bertanya-tanya dengan bahasa Tarzan kepada orang yang sedang duduk-duduk di tepi jalan. Yang dianggap aneh oleh orang awam itu dengan demikian sebenarnya hanyalah ketaatazasannya menerapkan prinsip ilmiah yang dianutnya terhadap permasalahan yang dihadapinya sehari-hari.
Dengan demikian di dalam kamus perilaku seorang ilmuwan sejati tidak akan ada tindakannya yang akan dilakukannya bertentangan dengan pengetahuan yang telah dihayatinya. Apabila ada misalnya seorang ilmuwan yang pernah mempelajari fisika, ia tidak akan mengebut dengan kendaraannya di jalan lintas-cepat Jagorawi dengan kecepatan 140 km/jam membuntuti sebuah bus dua meter di belakang ekornya. Pengetahuannya tentang kinematika akan mengatakan kepadanya bahwa pada kecepatan seperti itu ia tidak mungkin mempunyai waktu yang cukup untuk melambatkan laju kendaraannya apabila bus di depannya tiba-tiba menghadapi suatu hambatan.
Banyak orang yang mengemudi mobil yang bagus dan baru selalu mengekor di belakang kendaraan lain dengan kecepatan setinggi itu di jalan lintas-cepat Jagorawi. Banyak pula di antara mereka itu yang menguasai fisika dengan baik, tetapi tidak menerapkannya sewaktu mengemudi. Orang awam tidak menganggap mereka aneh bahkan menilai mereka itu sebagai pemberani. Akan tetapi dari segi perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai seorang ilmuwan sejati walaupun misalnya mereka itu bergelar sarjana dalam bidang pengetahuan alam.
Seorang dosen Fakultas Kedokteran Hewan Bogor yang sedang melaksanakan tugas-belajarnya di luar negeri ternyata tertulari penyakit Kusta. Penyakit itu mungkin sekali diidapnya sebagai hasil infeksi sewaktu ia di Bogor sebelum berangkat ke luar negeri, mengadakan penelitian tentang penyakit kusta itu pada hewan. Setelah ketahuan mengidap tahap-tahap awal penyakit kusta, ia mendapatkan perawatan khusus dalam ruang terisolasi di rumah sakit perguruan tingginya. Pada waktu itu juga ia mengambil keputusan untuk memilih sebagai judul penelitiannya suatu perma¬salahan tentang penyakit kusta. Pada suatu ketika dalam rangka memenuhi persyaratan seminarnya ia menyajikan pembahasan tentang penyakit kusta. Setelah seminar selesai, yang hadir baru sadar bahwa apa yang diceritakannya sebagai hasil penelitiannya tentang pengaruh langsung dan pengaruh sampingan obat penyakit kusta sebagian besar telah dilakukannya dengan menggunakan tubuhnya sebagai kelinci percobaan.
Cerita itu mirip apa yang telah dilakukan oleh Profesor Francis Weld Peabody dari Sekolah Kedokteran Harvard. Pada bulan November tahun 1926 ia memberi kuliah tentang "Perawatan Orang Sakit". Kuliah ini dicetakulang berkali-kali karena jelasnya cara menerangkannya tentang perawat¬an penderita penyakit kanker yang tidak mungkin ditolong dengan operasi. Tidak ada orang yang sadar pada ketika itu bahwa apa yang diceritakannya berdasarkan pengalamannya sendiri. Teman semasa kecilnya William James bercerita ten¬tang bulan-bulan terakhir kehidupannya, bahwa Peabody telah menulis laporan rumah sakitnya yang terakhir satu hari sebelum ia meninggal dunia.
Cerita lain lagi yang serupa terjadi dengan Gertrude Mary Cox, ahli statistika dan perancangan percobaan yang juga menjadi pendiri Departemen Statistika di Universitas Negara Bagian Karolina Utara, Raleigh dan Universitas Karolina Utara, Chapel Hill. Pada usia lewat 80 tahun ia diserang penyakit kanker darah leukemia dan dirawat di Rumah Sakit Universitas Duke di Durham, Karolina Utara. Ia menawarkan dirinya menjadi sukarelawan menyoba semua obat baru yang diperkirakan dapat menyembuhkan penderita leukemia. Semua obat yang dicobanya dan apa yang dirasakannya setelah meminum obat itu dicatatnya dengan teliti. Ia pun selaku ahli perancangan percobaan menasehati para dokter tentang rancangan pengobatan yang harus dilakukan agar hasilnya dapat disimpulkan secara sahih. Setiap kali dokter datang memeriksanya pada pagi hari, yang pertama dimintanya ialah catatan pribadi Gertrude Cox, karena catatannya selaku ahli perancangan percobaan jelas lebih rapi dan cermat dibandingkan dengan catatan dokter itu sendiri. Setelah ia meninggal, keesokan harinya dokter datang lagi untuk mengambil buku catatan Gertrude yang maksudnya akan disimpan di dalam arsip penelitian. Ketika dokter itu membaca halaman terakhir buku catatan yang ditulis oleh Gertrude itu ia terkejut bercampur haru. Kalimat terakhir yang ditulis Gertrude ialah: "Dan sekarang sayalah yang menjadi petak percobaan!" Sampai akhir hayatnya Gertrude Cox adalah seorang ilmuwan sejati.
Baca juga:
Petualang di Alam Nalar: 00. Pendahuluan
Petualang di Alam Nalar: 01. Sekali Ilmuwan Tetap Ilmuwan
Petualang di Alam Nalar: 02. Imuwan Tidak Pernah Putus Asa
Petualang di Alam Nalar: 03. Ilmuwan adalah Penegak Kebenaran
Petualang di Alam Nalar: 04. Ilmuwan Harus Berani Menyatakan Pendapat Secara Jujur
Petualang di Alam Nalar: 05. Ilmuwan Juga Manusia yang Tidak Sempurna
Petualang di Alam Nalar: 06. Siapa Saja yang Berbakat Ilmuwan
Petualang di Alam Nalar: 07. Kesimpulan
oleh: Prof. Dr. Andi Hakim Nasoetion (Wikipedia | TokohIndonesia)Dikutip dari buku: Pengantar ke Ilmu-imu Pertanian
Dengan demikian di dalam kamus perilaku seorang ilmuwan sejati tidak akan ada tindakannya yang akan dilakukannya bertentangan dengan pengetahuan yang telah dihayatinya. Apabila ada misalnya seorang ilmuwan yang pernah mempelajari fisika, ia tidak akan mengebut dengan kendaraannya di jalan lintas-cepat Jagorawi dengan kecepatan 140 km/jam membuntuti sebuah bus dua meter di belakang ekornya. Pengetahuannya tentang kinematika akan mengatakan kepadanya bahwa pada kecepatan seperti itu ia tidak mungkin mempunyai waktu yang cukup untuk melambatkan laju kendaraannya apabila bus di depannya tiba-tiba menghadapi suatu hambatan.
Banyak orang yang mengemudi mobil yang bagus dan baru selalu mengekor di belakang kendaraan lain dengan kecepatan setinggi itu di jalan lintas-cepat Jagorawi. Banyak pula di antara mereka itu yang menguasai fisika dengan baik, tetapi tidak menerapkannya sewaktu mengemudi. Orang awam tidak menganggap mereka aneh bahkan menilai mereka itu sebagai pemberani. Akan tetapi dari segi perilaku mereka tidak dapat digolongkan sebagai seorang ilmuwan sejati walaupun misalnya mereka itu bergelar sarjana dalam bidang pengetahuan alam.
Seorang dosen Fakultas Kedokteran Hewan Bogor yang sedang melaksanakan tugas-belajarnya di luar negeri ternyata tertulari penyakit Kusta. Penyakit itu mungkin sekali diidapnya sebagai hasil infeksi sewaktu ia di Bogor sebelum berangkat ke luar negeri, mengadakan penelitian tentang penyakit kusta itu pada hewan. Setelah ketahuan mengidap tahap-tahap awal penyakit kusta, ia mendapatkan perawatan khusus dalam ruang terisolasi di rumah sakit perguruan tingginya. Pada waktu itu juga ia mengambil keputusan untuk memilih sebagai judul penelitiannya suatu perma¬salahan tentang penyakit kusta. Pada suatu ketika dalam rangka memenuhi persyaratan seminarnya ia menyajikan pembahasan tentang penyakit kusta. Setelah seminar selesai, yang hadir baru sadar bahwa apa yang diceritakannya sebagai hasil penelitiannya tentang pengaruh langsung dan pengaruh sampingan obat penyakit kusta sebagian besar telah dilakukannya dengan menggunakan tubuhnya sebagai kelinci percobaan.
Cerita itu mirip apa yang telah dilakukan oleh Profesor Francis Weld Peabody dari Sekolah Kedokteran Harvard. Pada bulan November tahun 1926 ia memberi kuliah tentang "Perawatan Orang Sakit". Kuliah ini dicetakulang berkali-kali karena jelasnya cara menerangkannya tentang perawat¬an penderita penyakit kanker yang tidak mungkin ditolong dengan operasi. Tidak ada orang yang sadar pada ketika itu bahwa apa yang diceritakannya berdasarkan pengalamannya sendiri. Teman semasa kecilnya William James bercerita ten¬tang bulan-bulan terakhir kehidupannya, bahwa Peabody telah menulis laporan rumah sakitnya yang terakhir satu hari sebelum ia meninggal dunia.
Cerita lain lagi yang serupa terjadi dengan Gertrude Mary Cox, ahli statistika dan perancangan percobaan yang juga menjadi pendiri Departemen Statistika di Universitas Negara Bagian Karolina Utara, Raleigh dan Universitas Karolina Utara, Chapel Hill. Pada usia lewat 80 tahun ia diserang penyakit kanker darah leukemia dan dirawat di Rumah Sakit Universitas Duke di Durham, Karolina Utara. Ia menawarkan dirinya menjadi sukarelawan menyoba semua obat baru yang diperkirakan dapat menyembuhkan penderita leukemia. Semua obat yang dicobanya dan apa yang dirasakannya setelah meminum obat itu dicatatnya dengan teliti. Ia pun selaku ahli perancangan percobaan menasehati para dokter tentang rancangan pengobatan yang harus dilakukan agar hasilnya dapat disimpulkan secara sahih. Setiap kali dokter datang memeriksanya pada pagi hari, yang pertama dimintanya ialah catatan pribadi Gertrude Cox, karena catatannya selaku ahli perancangan percobaan jelas lebih rapi dan cermat dibandingkan dengan catatan dokter itu sendiri. Setelah ia meninggal, keesokan harinya dokter datang lagi untuk mengambil buku catatan Gertrude yang maksudnya akan disimpan di dalam arsip penelitian. Ketika dokter itu membaca halaman terakhir buku catatan yang ditulis oleh Gertrude itu ia terkejut bercampur haru. Kalimat terakhir yang ditulis Gertrude ialah: "Dan sekarang sayalah yang menjadi petak percobaan!" Sampai akhir hayatnya Gertrude Cox adalah seorang ilmuwan sejati.
Baca juga:
Petualang di Alam Nalar: 00. Pendahuluan
Petualang di Alam Nalar: 01. Sekali Ilmuwan Tetap Ilmuwan
Petualang di Alam Nalar: 02. Imuwan Tidak Pernah Putus Asa
Petualang di Alam Nalar: 03. Ilmuwan adalah Penegak Kebenaran
Petualang di Alam Nalar: 04. Ilmuwan Harus Berani Menyatakan Pendapat Secara Jujur
Petualang di Alam Nalar: 05. Ilmuwan Juga Manusia yang Tidak Sempurna
Petualang di Alam Nalar: 06. Siapa Saja yang Berbakat Ilmuwan
Petualang di Alam Nalar: 07. Kesimpulan
oleh: Prof. Dr. Andi Hakim Nasoetion (Wikipedia | TokohIndonesia)Dikutip dari buku: Pengantar ke Ilmu-imu Pertanian
0 comments:
Post a Comment