Penulis: Milantara
UHANGKAYO.webs.com - Artikel kali ini hanya mencoba mendeskripsikan tentang "Referensi Wisata" yang berisi tentang rujukan-rujukan dari berbagai literatur.
4. Pengembangan Pariwisata
Pariwisata adalah satu kesatuan tersendiri, ia hidup bukan karena adanya aspek lain yang telah berdiri terlebih dahulu, justru pariwisatalah yang menghidupan aspek/sektor lain, inilah yang sering disebut bahwa pariwisata bersifat multiplier effect. Namun bagaimanapun pariwisata kadang membutuhkan sarana wisata dan prasarana penunjang lainnya untuk mem-boost perkembangan wisata.
Dalam bukunya, Soekadijo menulis pariwisata dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: 1) parwisata sebagai mobilitas spasial, dan 2) pariwisata sebagai industri. Membaca penjelasan yang ada di buku tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan adalah 'menghadirkan' wisatawan pada suatu daerah tujuan wisata, dengan syarat utama adalah adanya kecocokan/kesesuaian pada supply dengan demand. Dan ini juga yang menjadi tolak ukur keberhasilan pada aspek mobilitas spasial.
Pengembangan pariwisata dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan supply dan/atau pendekatan demand. Pendekatan supply menitikberatkan pada aspek potensi yang dimiliki oleh suatu daerah, sedangkan pendekatan demand dilakukan dengan sebaliknya yaitu dengan melihat trend wisata yang sedang terjadi. Masing-masing pendekatan mewajibkan syarat yang berbeda, seperti umum untuk menghadirkan wisatawan mengunjungi suatu daerah yang tidak memiliki kesesuaian potensi dengan motif dari wisatawan tentu akan membutuhkan dana yang tidak sedikit, terutama dalam penyediaan objek dan atraksi yang sesuai dengan motif wisatawan yang sedang trend.
Hall (2000) menulis bahwa suatu kawasan harus memiliki tiga faktor utama berupa atraksi, fasilitas, dan aksesabilitas agar dapat dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata. Soekadijo (2000) juga menulis bahwa terdapat beberapa determinan yang dapat menciptakan pariwisata yaitu atraksi wisata, jasa wisata, dan transferabilitas, serta pemasaran. Atraksi wisata, jasa wisata, dan transferabilitas merupakan syarat mutlak untuk pariwisata, yang berarti kalau ada pariwisata ketiga determinan tersebut pasti ada, akan tetapi tidak sebaliknya, calon wisatawan masih harus diberitahu bahwa ada atraksi wisata, ada angkutan ke tempat atraksi, dan ada jasa yang tersedia kalau mengadakan perjalanan kesana. Kegiatan ini merupakan pemasaran yang merupakan syarat memadai. Syarat mutlak besama-sama dengan syarat memadai barulah menimbulkan hasil, yaitu pariwisata. Sehingga untuk mengembangkan suatu daerah menjadi tujuan wisata haruslah terpenuhi semua kriteria tersebut.
Pilihan pendekatan mana yang akan digunakan dalam perencanaan pengembangan pariwisata tentu harus memperhatikan berbagai aspek mulai dari aspek supply, demand, SDM, kapital hingga politik. Namun dengan berbegai keterbatasan, tentunya keberhasilan suatu pengembangan pariwisata haruslah menghindari ego pengelola/perencana, dan melihat secara lebih bijak pada semua faktor.
Sedangkan sebagai suatu industri wisata, maka penekanannya lebih pada aspek ekonomis, yang mencakup produsen, produk serta konsumen yang menikmati. Pariwisata sebagai sebuah industri menjadi sesuatu yang lebih kompleks dibandingkan dengan industri lainnya, karena industri pariwisata merupakan industri jasa pelayanan yang terdiri dari tindakan dan interaksi yang merupakan kontak sosial secara langsung antara produsen dan konsumen.
Kompleksitas industri pariwisata juga diakibatkan karena bukan hanya hanya satu 'produsen' saja yang berperan, namun melibatkan banyak 'produsen' dari berbagai sektor. Seorang wisatawan tentunya akan menggunakan jasa transportasi untuk mengunjungi suatu DTW, jasa penginapan saat berada di DTW, hingga menikmati objek dan atraksi wisata, serta berbagai 'produsen' lainnya. Sehingga dibutuhkan adanya sinergi yang baik antar masing-masing 'produsen' yang terlibat untuk dapat memberikan manfaat ekonomi yang optimal bagi masyarakat.
Produk Wisata
Disamping itu, terdapat perbedaan antara produk wisata dengan produk umum lainnya (manufaktur). Mengutip dari Soekadijo (2000) diantaranya yang terpenting adalah: Pertama, produk wisata tidak dapat dipindahkan, namun harus dinikmati di lokasi produk tersebut diproduksi; Kedua, wujud produk wisata ditentukan oleh konsumen sendiri, yaitu wisatawan. Wisatawanlah yang memilih objek/atraksi, angkutan, penginapan, hingga lama tinggal; Ketiga, pengalaman merupakan satu-satunya yang diperoleh oleh konsumen (wisatawan) yang membeli produk wisata.
Hal senada juga disampaikan oleh Suyitno (2001), ia memberikan beberapa batasan produk wisata, yaitu:
Dalam perencanaan pariwisata, pada umumnya analisis yang digunakan hanya sebatas analisis SWOT (WOTS-UP) saja. Hal ini berdampak pada tingginya nilai subjektifitas yang berarti ego planner menempati andil yang besar. Sehingga diperlukan satu analisis lain untuk mengawali analisis SWOT ini. Analisis skoring dapat menjadi awal yang baik untuk menentukan parameter-parameter yang termasuk dalam kelompok Strengths (S), Weaknesses (W), Opportunities (O), atau Threats (T).
Dikutip oleh Gunn (1993) dari Rose (1984), planning is a multimensional activity and seeks to be integrative. It embraces social, economic, political, psychological, antropological, and technological factors. It si concerned with the past, present and future.
Ada cukup banyak metode skoring yang beredar dalam menilai suatu potensi suatu kawasan, salah satunya adalah melalui Kriteria Penilaian dan Pengembangan Obyek Wisata Alam dari Departemen Kehutanan dengan SK Dirjen PHKA No. 51/Kpts/DJ – VI/93 tanggal 11 Mei 1993 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Daerah Operasi Obyek Wisata Alam. Dalam buku Ekoturisme (Avenzora 2008), metode ini telah dilakukan oleh Milantara (2005) untuk menilai salah satu potensi objek wisata di Taman Nasional Kerinci Seblat. Kriteria Penilaian ini berbentuk tabel yang terdiri atas 10 kriteria yang mampu mengkombinasikan beberapa kepentingan yang dimaksud, masing-masing kriteria ini memiliki bobot yang berbeda.
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Alat yang dapat dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan adalah matrik SWOT. Rangkuti (2000) menulis bahwa analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan Strengths dan Oppurtinities, namun secara bersamaan dapat meminimalkan Weaknesses dan Threats. Matrik SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana lingkungan eksternal (peluang dan ancaman) yang dihadapi perusahaan, agar dapat disesuaikan dengan lingkungan internal (kekuatan dan kelemahan) yang dimiliki. Analisis ini menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis.
Referensi:
Avenzora R. 2008. Ekoturisme: Teori dan Praktek. Nias: BRR NAD.
Cooper C, J Fletcher, D Gilbert, S Wanhill, R Shepherd (editor). 1998. Tourism: Principles and Practice Second Edition. England: Pearson Education Limited.
Godfrey K, C Jackie. 2000. the Tourism Development Handbook. London-New York: Cassell.
Gunn CA. 1993. Tourism Planning: Basic, Concepts, Cases. Washington: Taylor & Francis.
Gunn CA. 1997. Vacationscape: Developing Tourist Areas. Washington: Taylor & Francis.
Hall CM. 2000. Tourism Planning: Policy, Processes, and Relationship. England: Pearson Education Limited.
Rangkuti F. 2000. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Soekadijo RG. 2000. Anatomi Pariwisata: Memahami Pariwisata sebagai “Systemic Linkage”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suyitno. 2001. Perencanaan Wisata. Yogyakarta: Kanisius.
4. Pengembangan Pariwisata
Pariwisata adalah satu kesatuan tersendiri, ia hidup bukan karena adanya aspek lain yang telah berdiri terlebih dahulu, justru pariwisatalah yang menghidupan aspek/sektor lain, inilah yang sering disebut bahwa pariwisata bersifat multiplier effect. Namun bagaimanapun pariwisata kadang membutuhkan sarana wisata dan prasarana penunjang lainnya untuk mem-boost perkembangan wisata.
Peta Potensi Wisata Lembah Kerinci, klik disini untuk lebih jelas. |
Dalam bukunya, Soekadijo menulis pariwisata dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: 1) parwisata sebagai mobilitas spasial, dan 2) pariwisata sebagai industri. Membaca penjelasan yang ada di buku tersebut, maka dapat diinterpretasikan bahwa langkah pertama yang harus dilakukan adalah 'menghadirkan' wisatawan pada suatu daerah tujuan wisata, dengan syarat utama adalah adanya kecocokan/kesesuaian pada supply dengan demand. Dan ini juga yang menjadi tolak ukur keberhasilan pada aspek mobilitas spasial.
Pengembangan pariwisata dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan supply dan/atau pendekatan demand. Pendekatan supply menitikberatkan pada aspek potensi yang dimiliki oleh suatu daerah, sedangkan pendekatan demand dilakukan dengan sebaliknya yaitu dengan melihat trend wisata yang sedang terjadi. Masing-masing pendekatan mewajibkan syarat yang berbeda, seperti umum untuk menghadirkan wisatawan mengunjungi suatu daerah yang tidak memiliki kesesuaian potensi dengan motif dari wisatawan tentu akan membutuhkan dana yang tidak sedikit, terutama dalam penyediaan objek dan atraksi yang sesuai dengan motif wisatawan yang sedang trend.
Hall (2000) menulis bahwa suatu kawasan harus memiliki tiga faktor utama berupa atraksi, fasilitas, dan aksesabilitas agar dapat dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata. Soekadijo (2000) juga menulis bahwa terdapat beberapa determinan yang dapat menciptakan pariwisata yaitu atraksi wisata, jasa wisata, dan transferabilitas, serta pemasaran. Atraksi wisata, jasa wisata, dan transferabilitas merupakan syarat mutlak untuk pariwisata, yang berarti kalau ada pariwisata ketiga determinan tersebut pasti ada, akan tetapi tidak sebaliknya, calon wisatawan masih harus diberitahu bahwa ada atraksi wisata, ada angkutan ke tempat atraksi, dan ada jasa yang tersedia kalau mengadakan perjalanan kesana. Kegiatan ini merupakan pemasaran yang merupakan syarat memadai. Syarat mutlak besama-sama dengan syarat memadai barulah menimbulkan hasil, yaitu pariwisata. Sehingga untuk mengembangkan suatu daerah menjadi tujuan wisata haruslah terpenuhi semua kriteria tersebut.
Pilihan pendekatan mana yang akan digunakan dalam perencanaan pengembangan pariwisata tentu harus memperhatikan berbagai aspek mulai dari aspek supply, demand, SDM, kapital hingga politik. Namun dengan berbegai keterbatasan, tentunya keberhasilan suatu pengembangan pariwisata haruslah menghindari ego pengelola/perencana, dan melihat secara lebih bijak pada semua faktor.
Sedangkan sebagai suatu industri wisata, maka penekanannya lebih pada aspek ekonomis, yang mencakup produsen, produk serta konsumen yang menikmati. Pariwisata sebagai sebuah industri menjadi sesuatu yang lebih kompleks dibandingkan dengan industri lainnya, karena industri pariwisata merupakan industri jasa pelayanan yang terdiri dari tindakan dan interaksi yang merupakan kontak sosial secara langsung antara produsen dan konsumen.
Kompleksitas industri pariwisata juga diakibatkan karena bukan hanya hanya satu 'produsen' saja yang berperan, namun melibatkan banyak 'produsen' dari berbagai sektor. Seorang wisatawan tentunya akan menggunakan jasa transportasi untuk mengunjungi suatu DTW, jasa penginapan saat berada di DTW, hingga menikmati objek dan atraksi wisata, serta berbagai 'produsen' lainnya. Sehingga dibutuhkan adanya sinergi yang baik antar masing-masing 'produsen' yang terlibat untuk dapat memberikan manfaat ekonomi yang optimal bagi masyarakat.
Produk Wisata
Disamping itu, terdapat perbedaan antara produk wisata dengan produk umum lainnya (manufaktur). Mengutip dari Soekadijo (2000) diantaranya yang terpenting adalah: Pertama, produk wisata tidak dapat dipindahkan, namun harus dinikmati di lokasi produk tersebut diproduksi; Kedua, wujud produk wisata ditentukan oleh konsumen sendiri, yaitu wisatawan. Wisatawanlah yang memilih objek/atraksi, angkutan, penginapan, hingga lama tinggal; Ketiga, pengalaman merupakan satu-satunya yang diperoleh oleh konsumen (wisatawan) yang membeli produk wisata.
Hal senada juga disampaikan oleh Suyitno (2001), ia memberikan beberapa batasan produk wisata, yaitu:
- Tidak berwujud (intangible) dalam artian wisata hanya memberikan kesan atau pengalaman kepada wisatawan.
- Wisata tidak dapat diukur secara kuantitatif (unmeasurable), pengukuran melalui kelas wisata, seperti deluxe, standard, economy, atau bedasar budget.
- Wisata merupakan produk yang tidak tahan lama dan mudah kadaluarsa (perishable) serta masa jual terbatas.
- Tidak dapat disimpan (unstorable) .
- Melibatkan konsumen (wisatawan) dalam proses produksinya.
- Proses produksi dan konsumsi terjadi dalam waktu yang sama.
Dalam perencanaan pariwisata, pada umumnya analisis yang digunakan hanya sebatas analisis SWOT (WOTS-UP) saja. Hal ini berdampak pada tingginya nilai subjektifitas yang berarti ego planner menempati andil yang besar. Sehingga diperlukan satu analisis lain untuk mengawali analisis SWOT ini. Analisis skoring dapat menjadi awal yang baik untuk menentukan parameter-parameter yang termasuk dalam kelompok Strengths (S), Weaknesses (W), Opportunities (O), atau Threats (T).
Dikutip oleh Gunn (1993) dari Rose (1984), planning is a multimensional activity and seeks to be integrative. It embraces social, economic, political, psychological, antropological, and technological factors. It si concerned with the past, present and future.
Ada cukup banyak metode skoring yang beredar dalam menilai suatu potensi suatu kawasan, salah satunya adalah melalui Kriteria Penilaian dan Pengembangan Obyek Wisata Alam dari Departemen Kehutanan dengan SK Dirjen PHKA No. 51/Kpts/DJ – VI/93 tanggal 11 Mei 1993 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Daerah Operasi Obyek Wisata Alam. Dalam buku Ekoturisme (Avenzora 2008), metode ini telah dilakukan oleh Milantara (2005) untuk menilai salah satu potensi objek wisata di Taman Nasional Kerinci Seblat. Kriteria Penilaian ini berbentuk tabel yang terdiri atas 10 kriteria yang mampu mengkombinasikan beberapa kepentingan yang dimaksud, masing-masing kriteria ini memiliki bobot yang berbeda.
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Alat yang dapat dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis perusahaan adalah matrik SWOT. Rangkuti (2000) menulis bahwa analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan Strengths dan Oppurtinities, namun secara bersamaan dapat meminimalkan Weaknesses dan Threats. Matrik SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana lingkungan eksternal (peluang dan ancaman) yang dihadapi perusahaan, agar dapat disesuaikan dengan lingkungan internal (kekuatan dan kelemahan) yang dimiliki. Analisis ini menghasilkan empat set kemungkinan alternatif strategis.
Matriks SWOT |
Referensi:
Avenzora R. 2008. Ekoturisme: Teori dan Praktek. Nias: BRR NAD.
Cooper C, J Fletcher, D Gilbert, S Wanhill, R Shepherd (editor). 1998. Tourism: Principles and Practice Second Edition. England: Pearson Education Limited.
Godfrey K, C Jackie. 2000. the Tourism Development Handbook. London-New York: Cassell.
Gunn CA. 1993. Tourism Planning: Basic, Concepts, Cases. Washington: Taylor & Francis.
Gunn CA. 1997. Vacationscape: Developing Tourist Areas. Washington: Taylor & Francis.
Hall CM. 2000. Tourism Planning: Policy, Processes, and Relationship. England: Pearson Education Limited.
Rangkuti F. 2000. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Soekadijo RG. 2000. Anatomi Pariwisata: Memahami Pariwisata sebagai “Systemic Linkage”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suyitno. 2001. Perencanaan Wisata. Yogyakarta: Kanisius.
0 comments:
Post a Comment