sideCategory1

Jan 22, 2012

Jasa Lingkungan Hutan Konservasi sebagai Potensi Pembangunan Kerinci (Bagian 1)

Pengantar

UHANGKAYO - Berbicara tentang hutan konservasi bukan hal yang sederhana, karena ada banyak kelompok kepentingan yang terlibat. Terlebih jika kita melihat fungsi hutan sebagai Paru-paru Dunia, berarti ada makhluk hidup dibelahan bumi lain yang juga menimati manfaat yang diberikan. Sehingga bukan hanya masyarakat sekitar, pemerintah setempat, maupun pengelola kawasan atau Kementerian Kehutanan yang memiliki kepentingan di kawasan konservasi tersebut. Tulisan ini hanya mencoba melihat dari jasa lingkungan yang dapat diberikan oleh hutan konservasi.

Hutan konservasi yang terdapat di wilayah administrasi Lembah Kerinci memberikan jasa lingkungan yang tidak terhingga bagi masyarakat Kerinci, bahkan negara lain, sehingga tidak heran apabila hutan alam ini menjadi bagian dari Paru-paru Dunia. Kata paru-paru pada manusia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan kata nafas, bernafas berarti menghirup dan membuang udara, untuk membersihkan darah dengan oksigen dari udara yang dihisap. Udara yang segar mengandung banyak oksigen yang akan memberikan kualitas hidup yang baik bagi makhluk hidup.

Berbeda dengan paru-paru pada manusia, hutan sebagai paru-paru dunia memiliki fungsi kebalikan. Hutan membersihkan udara dari berbagai gas yang berbahaya bagi manusia dan menghasilkan oksigen (O2 ). Oksigen ini hanya dapat dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan berklorofil, dengan menggunakan karbon dioksida dan air untuk menghasilkan gula dan oksigen, dengan bantuan sinar matahari. Proses ini dikenal sebagai fotosintesis atau dirumuskan dengan:

6H2O + 6CO2 + cahaya → C6H12O6 (glukosa) + 6O2


Selain itu, hutan juga menjadi pemasok ketersediaan air bersih, membentuk iklim mikro, menghindari terjadinya longsor, peredam kebisingan, penepis bau, habitat satwa, dan segudang manfaat lainnya, hingga pemanfaatan sebagai potensi pendidikan dan rekreasi.

Manfaat Intangible dan Tangible Hutan

Manfaat intangible merupakan manfaat yang tidak dapat atau sulit untuk diukur, manfaat ini hanya berupa jasa lingkungan. Sedangkan nilai yang dapat diukur (secara ekonomi) seperti pemanfaatan flora, kayu, rotan, hingga fauna dari hutan dikenal dengan manfaat tangible. Tidak adanya alat atau standar untuk mengukur nilai ekonomi dari manfaat intangible ini, membuat hutan seringkali hanya dilihat dari sisi tangible saja, yaitu sebagai penghasil kayu atau sebagai lahan pertanian. Perbedaan sudut pandang antara masyarakat/pemerintah yang berorientasi pada nilai ekonomi, dengan pengelola Taman Nasional yang menjaga keutuhan kawasan agar dapat berfungsi sebagai penyedia jasa lingkungan, seringkali memicu konflik. Masing-masing pihak memiliki kepentingan dari sudut pandang yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama yaitu untuk memberikan manfaat bagi masyarakat yang ada.

Manfaat tangible maupun intangible memiliki sifat yang berbeda dalam waktu, cakupan, dan jenis manfaat yang diberikan. Manfaat tangible cenderung memberikan hasil yang lama dan berjangka, misal suatu lahan perkebunan atau pertanian, pemanenan hanya dapat dilakukan apabila telah mencapai umur tertentu dan panen berikutnya harus mengikuti jadwal yang telah ditetapkan. Cakupan manfaat tangible yang diberikan bersifat lokal, yang menikmati hanya kalangan tertentu seperti pemilik lahan, para pekerja, dan pemerintah setempat. Manfaat tangible ini juga bersifat sempit yang hanya dapat dinilai dari sisi ekonomi saja sebagai penghasil kayu, kulit manis, maupun berbagai hasil pertanian lainnya.

Sedangkan manfaat intangible dapat dinikmati lebih cepat dan tersedia sepanjang waktu selama hutan tetap terjaga, seperti udara dan ketersedian air bersih sepanjang tahun. Cakupan manfaat intangible juga sangat luas, bukan hanya penduduk lokal, tapi juga secara nasional bahkan internasional dapat menikmatinya. Selain itu, manfaat intangible dari kawasan hutan tidak terbatas, bukan hanya sebagai pemasok udara dan air bersih, namun juga dapat meredam kebisingan, mengurangi bahaya hujan asam, iklim mikro, habitat satwa, mengurangi stress, penahan angin, hingga menjadi potensi ekowisata.

Nilai Ekonomi Manfaat Intangible


Manfaat intangible ‘tidak berwujud’ dan bukanlah berupa angka-angka, sehingga seringkali dianggap remeh oleh penduduk setempat, bahkan negara-negara maju seringkali mengabaikannya. Namun, manfaat intangible hutan dinikmati setiap saat terutama oleh masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan. Seperti udara bersih, ketersediaan air bersih sepanjang tahun, suhu udara yang sejuk. Kecendrungan atau anggapan suatu pembangunan yang berhasil hanya ditandai dengan hadirnya 'hutan beton' yang menggantikan hutan alam, dan meningkatnya pendapatan penduduk yang juga berdampak pada tingginya PAD bagi pemerintah setempat. Yang semuanya adalah suatu bentuk tekanan ekonomi pada sisi ekologis. Namun fakta dewasa ini, berbagai kota yang 'maju' mulai berbenah diri dan mulai melihat aspek lain dalam pembangunannya, agar mencapai suatu keberlanjutan fungsi ekonomi, sosial, dan ekologis. Kota yang secara ekonomi maju, secara ekologis sehat, dan merupakan rumah bagi masyarakatnya.

Tekanan yang masih besar pada aspek ekologis, membuat para ahli lingkungan mencoba berbagai pendekatan dalam menghitung manfaat intangible hutan, sehingga manfaat intangible yang berupa jasa lingkungan ini dapat keluar dalam bentuk angka-angka atau berupa nilai Rupiah. Salah satu model pendekatan yang digunakan adalah melalui metode substitusi, metode ini membandingkan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh suatu masyarakat yang hidup tanpa hutan dengan masyarakat yang hidup di sekitar hutan.

Contoh metode substitusi adalah adalah dari pendekatan biaya kesehatan, yaitu membandingkan jumlah orang sakit dengan jenis penyakit tertentu (penyakit pernafasan) pada daerah yang memiliki tingkat pencemaran udara yang tinggi, seperti di perkotaan dibandingkan dengan daerah-daerah yang masih alami yang memiliki kualitas udara yang bersih. Secara statistik masyarakat yang hidup di daerah perkotaan/terpolusi lebih sering terkena penyakit pernafasan, ini berarti masyarakat perkotaan akan mengeluarkan sejumlah uang untuk biaya berobat. Sedangkan masyarakat yang hidup di daerah yang masih alami atau disekitar hutan hampir tidak pernah terkena penyakit pernafasan, sehingga masyarakat sekitar hutan tidak akan mengeluarkan biaya untuk berobat karena penyakit tersebut.
Perbandingan biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat yang hidup di daerah tanpa hutan dengan yang hidup di daerah sekitar hutan merupakan harga atau nilai ekonomi untuk jasa lingkungan dari hutan.
Begitu juga dengan ketersediaan air bersih, pada daerah-daerah yang masih alami seringkali ditemukan mata air bersih yang tersedia sepanjang tahun dan bisa langsung diminum. Hal ini tentu berbeda dengan daerah perkotaan, Ibukota Jakarta saat ini mengalami krisis ketersediaan air bersih, air tanah yang terdapat di Jakarta merupakan air payau. Ini terjadi karena daratan Jakarta mengalmi intrusi air laut akibat hilangnya hutan Mangrove sebagai penahan air laut. Selain itu, air yang dijual dalam kemasan merupakan suatu cara untuk mengukur manfaat intangible hutan dari sudut pandang ekonomi. Minimal uang yang dikeluarkan untuk segelas air kemasan adalah Rp.1.000,-
Jika hutan di bumi hilang, bukan tidak mungkin udara bersih juga akan dikomersialkan dalam bentuk kemasan seperti air kemasan yang sering kita jumpai di pasar saat ini. Suatu saat nanti anak cucu kita akan merogoh kocek hanya untuk menghirup udara bersih.
Manfaat lain dari ketersediaan hutan adalah pada kemampuannya membentuk suatu iklim mikro atau memberikan efek menyejukkan, dimana suhu udara didaerah yang berpohon lebih rendah dibandingkan pada daerah yang tidak memiliki pohon. Iklim mikro yang dibentuk oleh pepohonan ini akan berdampak pada penggunaan energi listrik, sehingga penghuni rumah tidak membutuhkan AC (Air Conditioner) atau kipas angin. Dengan tidak adanya penggunaan alat-alat listrik tersebut maka akan menurunkan tagihan listrik. Di daerah perkotaan yang minim Ruang Terbuka Hijau (RTH) seperti di Jakarta, hampir setiap rumah memiliki alat listrik untuk menyejukkan ruangan, rumah-rumah mewah setidaknya memiliki 2-5 unit AC, bahkan yang hidup di bawah kolong jembatan setidaknya memiliki satu unit kipas angin.

Penelitian yang lebih seksama telah dilakukan oleh Milantara (2011) yang melihat hubungan antara keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan pemakaian energi listrik untuk penggunaan AC, hasil yang didapat adalah perumahan yang memiliki RTH sebesar 8,50% mampu memberikan penghematan listrik tahunan lebih dari 40 juta rupiah atau terjadi penghematan tagihan listrik per rumah sebesar 2,3%. Sedangkan perumahan lain yang memiliki 6% RTH mampu menghemat pemakaian energi listrik sebesar 0,88% per rumah, dengan area pengembangan yang lebih luas maka penghematan total perumahan ini hingga 90 juta rupiah per tahun.
Kondisi diatas tentu saja berbeda dengan masyarakat yang hidup disekitar hutan. Hutan Lembah Kerinci yang terjaga baik tentu akan dapat menghindari masyarakat Kerinci untuk mengeluarkan sejumlah biaya kesehatan atau tagihan listrik.


___
Dikutip dari uhangkayo.webs.com

0 comments:

Post a Comment