Manfaat Intangible Hutan di Wilayah Administratif Lembah Kerinci (Kota dan Kabupaten)
Beberapa penelitian lainnya juga telah dilakukan oleh para peneliti lingkungan, untuk menghitung manfaat intangible yang diberikan oleh tegakan hutan, namun belum dapat memberikan standarisasi nilai (dalam ekonomi) yang dapat berlaku secara umum. Hal ini dilakukan mengingat tingginya tingkat kompleksitas suatu sistem alam, yang masing-masing komponen memiliki hubungan yang sangat erat, mulai dari mikroorganisme yang ada di dalam tanah, tanah itu sendiri, jenis yang akan menentukkan karakteristik tumbuhan/pohon itu sendiri, hingga satwa yang hidup didalamnya. Sehingga penelitian mengenai jasa lingkungan ini dilakukan dengan menyederhanakan dan/atau menghitung faktor tertentu yang dianggap penting, dan nilai yang dihasilkan juga akan lebih rendah dari nilai yang sesungguhnya. Namun, dengan mengabaikan beberapa faktor saja, telah memberikan gambaran betapa pentingnya manfaat intangible hutan.
Hasil dari penelitian manfaat yang diberikan oleh 1 ha hutan atau lebih spesifik pada Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat memberikan manfaat, diantaranya:
- Menghasilkan 0,6 ton oksigen untuk dikonsumsi oleh 1.500 penduduk per hari agar dapat bernafas dengan lega.
- Membuang 2,5 ton CO2 per tahun dari atmosfer atau 6kg CO2/batang per tahun.
- Menyimpan 900 m kubik air tanah per-tahun.
- Meredam suara 7 desibel per 30 meter jarak dari sumber suara, pada frekuensi kurang dari 1000 CPS.
- Menurunkan suhu 5-8 derajat celsius.
Kompensasi bagi Negara yang Menjaga Hutan - Menggantungkan Hidup pada Perdagangan Karbon?
Kawasan hutan memiliki simpanan karbon yang luar biasa tinggi dan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan pohon didalamnya. Negara maju yang notabene adalah negara industri merupakan penyumbang gas berbahaya (terutama karbon) yang dapat mengancam kehidupan makhluk hidup apabila melewati ambang batas. Oleh karena pentingnya hutan sebagai ‘penampung’ dan ‘pembersih’ gas-gas berbahaya dari hasil kegiatan industri, maka beberapa Negara maju bersedia membayar sejumlah kompensasi kepada negara berkembang yang memiliki hutan alam yang luas, selain itu kompensasi yang diberikan juga merupakan salah satu syarat bagi negara maju tersebut untuk melanggengkan kegiatan industri mereka.
Kegiatan ini dikenal dengan istilah Perdagangan Karbon (Carbon Trade). Perdagangan karbon merupakan bentuk kompensasi yang diberikan oleh negara-negara industri maju sebagai penghasil karbon pada negara-negara yang memiliki hutan luas sebagai penyimpan karbon. Di bawah kesepakatan Protokol Kyoto, negara industri maju penghasil emisi karbon dioksida diwajibkan membayar kompensasi kepada negara miskin dan atau berkembang atas oksigen yang dihasilkan dari hutan pada negara tersebut.
Hingga saat ini belum ada kesepakatan harga untuk satu ton karbon yang tersimpan dalam tegakan hutan alam. Beberapa isu yang berkembang menyebutkan bahwa 1 ton karbon berkisar antara 2-15 dollar per ton, bahkan beberapa sumber menyebutkan mencapai 40 dollar per ton. Dengan asumsi 1 ha hutan alam mampu menyimpan 254 ton karbon, dengan nilai hanya 2 dollar per ha, maka nilai hutan kawasan konservasi (yang berada di wilayah berada di wilayah administratif Lembah Kerinci) seluas 214.999,6 ha mencapai Rp.3.654.993.200. Nilai yang sangat menggiurkan.
Namun untuk mewujudkan perdagangan karbon ini, masih jauh panggang dari api. Negara industri seperti Amerika merupakan pembangkang utama untuk merealisasikan kesepakatan ini. Dan seandainya perdagangan karbon telah ditetapkan oleh 'dunia', dengan hanya dengan membuka mata pada kondisi nasional yang masih caruk-maruk, ketidaksiapan pemerintah dalam mengelola carbon trading, serta dengan segala istilah tetek bengek yang intinya adalah pemotongan dana pada setiap anak tangga dari level atas hingga level bawah. Yang akan terjadi adalah ruang yang semakin jauh antar rakyat dengan pemerintah (pengelola perdagangan karbon), petinggi-petinggi pemerintah akan makin kaya dari pemotongan dan rakyat akan tetap (semakin) miskin. Sehingga rakyat Kerinci tetap tidak bisa menikmati sepenuhnya manfaat yang diberikan oleh jasa lingkungan hutan konservasi di Lembah Kerinci. Kalaupun hasil 'mengemis' pada negara maju ini sampai pada level masyarakat kecil, paling hanya menyentuh masyarakat di desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Barangkali juga akan menimbulkan kecemburuan sosial antar desa, dan memperbesar celah konflik dengan pengelola hutan konservasi.
Lalu apa yang bisa diharapkan hanya dari 'mengemis' yang bisa dipadankan dengan suatu bentuk pembodohan. Kerinci hanya menjadi semakin manja.Ini tentu hanya sebuah dugaan dengan melihat berbagai faktor yang ada, namun mari berharap jika terwujud perdagangan karbon maka dapat berlangsung dengan baik.
Membangun Kerinci; Kembangkan Kreatifitas, Jadikan 'Ancaman' sebagai Peluang
Besarnya arus modernisasi serta pola pikir yang telah mengakar pada setiap lapisan masyarakat bahwa sesuatu haruslah bernilai secara ekonomi, serta dengan berbagai peraturan yang melekat di kawasan konservasi seolah membuat hutan konservasi ini hanya sebagai faktor 'penghambat' bagi pembangunan Kerinci. Mengingat besarnya manfaat intangible yang dapat diberikan oleh hutan bahkan dinikmati oleh negara di belahan bumi lain, melalui analisis WOTS UP secara kasar, maka sangat disayangkan jika hutan konservasi ini sampai rusak atau mengalami konversi sebagai perkebunan hanya demi kepentingan ekonomi sesaat. Namun tidak adanya manfaat ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat tentu menambah kesan bahwa keberadaan hutan konservasi hanya 'menghambat' pembangunan Kerinci. Jika ini dibiarkan terus, maka akan menimbulkan ketidakharmonisan antar masyarakat, pemerintah daerah, dan pengelola kawasan, seperti yang telah berlangsung selama ini dan bukan tidak mungkin akan semakin runcing pada masa yang akan datang.
Baik Pemda maupun Pengelola Kawasan hendaknya dapat menemukan satu solusi yang mampu menjembatani kepentingan masing-masing pihak. Pengelola kawasan hendaknya lebih gencar dalam memberikan sosialisasi manfaat (intangible) hutan ditinjau dari sisi ekonomi bagi masyarakat, terutama dengan pendekatan substitusi, seperti biaya kesehatan yang harus dikeluarkan apabila udara maupun air tercemar. Tentu akan lebih baik apabila dapat menyajikan dalam bentuk angka atau dalam Rupiah, berdasarkan penelitian-penelitian fakta-fakta yang ada.
Pemerintah daerah juga dapat membuka mata dan belajar pada beberapa kota lain yang mengalami degradasi akibat pengelolaan yang hanya melihat dari aspek ekonomi saja, yang mementingkan peningkatan PAD, tetapi mengabaikan aspek ekologi maupun sosial. Beberapa kota telah berbenah akibat pendekatan dalam pembangunan kota yang tidak mengikuti kaidah alam, seperti Curitiba di Brazil dengan menggandakan Ruang Terbuka Hijau. Atau Singapura sebuah negara kecil yang memanjakan pejalan kaki dengan membangun jalur pedestrian yang manusiawi.
Dengan kondisi alam Kabupaten Kerinci saat ini, terlebih pemerintahan Kabupaten Kerinci yang baru terbentuk, menjadi langkah awal yang sangat baik untuk mewujudkan pembangunan Kerinci yang berkelanjutan dari aspek ekonomi, sosial, dan ekologis. Melalui pendekatan perencanaan dan pengelolaan yang baik, Kerinci memiliki potensi menjadi kota yang maju secara ekonomi dengan memanfaatkan aspek ekologi, dan kota yang sehat dengan tetap terjaganya fungsi ekologi, dan menadi rumah bagi masyarakatnya, serta tetap mempertahankan identitas Kerinci yang sesungguhnya.
Kawasan hutan konservasi yang berada diwilayah administratif Lembah Kerinci dengan berbagai peraturan yang membatasi, sesungguhnya memiliki potensi untuk menjadi kekuatan yang dapat mendongkrak pembangunan Kerinci. Tinggal sekarang yang dibutuhkan adalah bagaimana me-manage 'ancaman' menjadi sebuah potensi.
___
Dikutip dari uhangkayo.webs.com
0 comments:
Post a Comment